10 Oct Apakah Komisaris Utama Bisa Memberhentikan Direktur Utama Perseroan?
Dalam struktur organ Perseroan Terbatas (PT), posisi Direktur Utama dan Komisaris Utama sering dianggap memiliki hubungan hierarki yang mirip dengan pimpinan dan bawahan. Padahal, menurut hukum perusahaan, keduanya merupakan organ perseroan yang memiliki fungsi berbeda dan tidak berada dalam hubungan atasan-bawahan secara langsung. Direksi, termasuk Direktur Utama, bertanggung jawab untuk menjalankan pengurusan dan operasional perusahaan sehari-hari. Sedangkan Dewan Komisaris, termasuk Komisaris Utama, berperan dalam melakukan pengawasan serta memberikan nasihat terhadap kebijakan dan pelaksanaan pengurusan yang dilakukan oleh Direksi.
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT), kedudukan dan kewenangan antara Direksi dan Dewan Komisaris diatur secara tegas. Pasal 92 UUPT menyebutkan bahwa Direksi menjalankan pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan sesuai dengan kebijakan yang dianggap tepat. Sementara itu, Pasal 108 UUPT menjelaskan bahwa Dewan Komisaris bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus serta memberikan nasihat kepada Direksi. Dengan demikian, Dewan Komisaris tidak memiliki kewenangan langsung untuk mengelola atau mengambil keputusan operasional perusahaan, apalagi untuk memberhentikan Direksi secara sepihak.
Kewenangan untuk mengangkat maupun memberhentikan anggota Direksi, termasuk Direktur Utama, secara hukum berada di tangan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Hal ini ditegaskan dalam Pasal 105 ayat (1) UUPT yang menyatakan bahwa anggota Direksi diangkat dan diberhentikan oleh RUPS. Artinya, Komisaris Utama tidak dapat secara sepihak atau langsung memberhentikan Direktur Utama, karena keputusan tersebut hanya sah apabila diputuskan melalui mekanisme RUPS.
Meskipun demikian, Dewan Komisaris memiliki hak untuk mengusulkan pemberhentian Direktur Utama kepada RUPS apabila terdapat alasan yang kuat dan dapat dibuktikan. Misalnya, ketika Direktur Utama diduga melakukan tindakan yang merugikan perseroan, melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan, tidak menjalankan tugas sebagaimana diatur dalam anggaran dasar, atau melakukan perbuatan yang bertentangan dengan prinsip tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance). Dalam situasi seperti itu, Komisaris Utama dapat menyusun rekomendasi resmi kepada RUPS agar Direktur Utama diberhentikan dari jabatannya.
Selain kewenangan untuk mengusulkan, Dewan Komisaris juga diberikan hak oleh UUPT untuk melakukan pemberhentian sementara (suspensi) terhadap anggota Direksi, termasuk Direktur Utama, dalam keadaan tertentu. Hal ini diatur dalam Pasal 106 ayat (1) UUPT. Pemberhentian sementara ini dapat dilakukan jika Komisaris menilai bahwa tindakan Direktur Utama berpotensi menimbulkan kerugian serius bagi perseroan atau mengganggu jalannya perusahaan. Namun, pemberhentian sementara tersebut bersifat sementara dan tidak final, karena harus dilaporkan kepada RUPS dalam waktu paling lambat 30 hari sejak tanggal keputusan. RUPS kemudian akan memutuskan apakah pemberhentian sementara itu disetujui menjadi pemberhentian tetap atau justru dibatalkan.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Komisaris Utama tidak memiliki kewenangan mutlak untuk memberhentikan Direktur Utama secara permanen. Kewenangan tersebut tetap berada di tangan RUPS sebagai organ tertinggi dalam struktur PT. Komisaris Utama hanya dapat melakukan dua hal, yaitu mengusulkan pemberhentian kepada RUPS atau melakukan pemberhentian sementara sambil menunggu keputusan RUPS. Dalam praktiknya, jika terjadi konflik antara Komisaris Utama dan Direktur Utama, langkah yang tepat bagi Komisaris Utama adalah mengadakan rapat Dewan Komisaris, membuat risalah rapat yang berisi alasan pemberhentian, lalu menyampaikan rekomendasi tersebut kepada RUPS untuk diputuskan secara resmi.
Secara sederhana, Komisaris Utama tidak bisa serta-merta memberhentikan Direktur Utama, meskipun secara jabatan dianggap lebih tinggi dalam struktur organisasi. Prosedur hukum mengharuskan adanya mekanisme formal melalui RUPS agar keputusan tersebut sah dan mengikat. Ketentuan ini dibuat untuk menjaga keseimbangan kekuasaan dalam tubuh perseroan, sehingga tidak ada satu pihak yang dapat bertindak sewenang-wenang dalam menjalankan atau menghentikan kepemimpinan perusahaan.
Author: Abdul Rozak, S.HÂ
Referensi:
1. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
2. Pasal 92, Pasal 105, dan Pasal 106 UUPT.
3. Pasal 108 UUPT tentang Tugas dan Wewenang Dewan Komisaris.
4. Munir Fuady, Doktrin-Doktrin Modern dalam Corporate Law dan Eksistensinya dalam Hukum Indonesia, Citra Aditya Bakti, 2010.
5. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, Sinar Grafika, 2016.
6. Adrian Sutedi, Good Corporate Governance, Sinar Grafika, 2011.