SEKILAS MENGENAI TINDAK PIDANA PERTANAHAN

  1. Pengertian Kejahatan Terhadap Tanah

Dalam membahas pengertian tentang kejahatan terhadap tanah, perlu diketahui dahulu apa pengertian “kejahatan” yang sering diartikan perbuatan pidana atau perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, dan ada sanksi bagi yang melanggar larangan tersebut .

Kejahatan merupakan bentuk dari “perilaku menyimpang”, selalu melekat pada tiap bentuk masyarakat yang tidak pernah sepi dari kejahatan. Perilaku menyimpang itu merupakan suatu ancaman yang nyata, serta ancaman dari norma-norma sosial, yang mendasari kehidupan atau keteraturan sosial, dapat menimbulkan ketegangan sosial, dan merupakan ancaman rill atau potensial bagi keberlangsungan ketertiban sosial (Barda Nawasi Arief 1985).

Kejahatan atau perbuatan pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, dan disertai dengan ancaman (sanksi) berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa kejahatan adalah perbuatan yang oleh hukum dilarang atau diancam pidana, asal perlu kita ingat bahwa larangan itu ditunjukkan kepada perbuatan (suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh perbuatan seseorang), sedangkan ancaman itu pidananya ditujukan kepada orang yang mnimbulkan kejahatan itu .

Meskipun para pakar menyatakan bahwa pem­bidangan hukum yang menjadi cakupan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) adalah meliputi; Hukum Perdata dan Hukum Administrasi Negara saja (Boedi Harsono, 2008:9), namun jika ditilik kembali kepada kronologis terjadinya sengketa, konflik dan perkara pertanahan maka tidak menutup kemungkinan ketika membahas UUPA juga bertalian dengan pemba­hasan Hukum Pidana.

Dalam KUHP terdapat pasal-pasal yang mengatur dalam hal pertanahan pada buku II tentang kejahatan, dan buku III tentang pelanggaran.

  1. Kejahatan Terhadap Tanah

Kejahatan pertanahan jika dilihat dari segi waktunya dibedakan menjadi tiga, antara lain:

  1. Pra perolehan;
  2. Menguasai tanpa hak;
  3. Mengakui tanpa hak.

Dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) bentuk-bentuk kejahatan terhadap tanah diantaranya sebagai berikut:

  1. Pra Perolehan;
  2. Delik Penipuan.

Tindak pidana ini mengenai menghancurkan, memindahkan atau menyingkirkan sesuatu yang dipakai orang untuk menunjukkan batas-batas halaman oleh pembentuk undang-undang telah diatur antara lain:

Pasal 389 Undang-undang pidana yang berbunyi:

“Barang siapa dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak, menghancurkan, memindahkan, membuang atau membuat sehingga tidak dapat terpakai lagi barang yang dipergunakan untuk menentukan batas pekarangan, dihukum penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan.”

Beberapa putusan Kasasi Mahkamah Agung berkenaan dengan ketentuan pidana yang diatur dalam pasal 385 KUHP, dapat dicatatat antara lain, yakni:

  1. Putusan Kasasi Mahkamah Agung RI tanggal 28 Agustus 1974 No. 104 K-Kr/1973 yang antara lain memutuskan bahwa:

“Meminjam sebidang tanah dari yang berhak guna digarap satu musim, tetapi setelah waktu tiba untuk mengembalikannya pada yang berhak, tidak dikembalikannya melainkan dijual musiman kepada orang lain, dipersalahkan melanggar pasal 385 (4) KUHP.”

  1. Putusan Kasasi Mahkamah Agung RI tanggal 10 Mei 1972 N0. 107 K-Kr/1970 yang antara lain memutuskan sebagai berikut:

“Pertimbangan pengadilan tinggi yang dibenarkan Mahkamah Agung, karena terdakwa telah terbukti dengan maksud untuk menguntungkan anak kandungnya sendiri telah meghilangkan hak saksi KL atas tanah karcis No. 317 pada pembagian tanah Bandar Simare Mangunsaksak, terdakwa dipersalahkan melakukan kejahatan dengan maksud hendak menguntungkan diri-sendiri atau orang lain secara melawan hukum, telah melanggar hak orang Indonesia atas tanah, sedangkan diketahuinya bahwa orang lain berhak atas tanah tersebut.”

  1. Delik Pemalsuan

Pasal-pasal yang mengatur tentang kejahatan pemalsuan yang dapat diterapkan terhadap kejahatan dibidang pertanahan adalah sebagai berikut, pasal 266 KUHP berbunyi sebagai berikut:

  • Barang siapa menyuruh menempatkan keterangan palsu keadaan suatu akta autentik tentang suatu kejadian yang kebenarannya harus dinyatakan dalam akta itu, dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan akta itu dseolah-olah keterangan itu cocok dengan hal sebenarnya, maka dalam mempergunakannya itu dapat mendatangkan kerugian, dihukum selama-lamanya tujuh tahun.”
  • “Dengan hukuman yang serupa itu juga dihukum barang siapa dengan sengaja menggunakan akta itu seolah-olah isinya cocok dengan hal yang sebenarnya jika pemakaian surat itu dapat mendatangkan kerugian .”

Kalau diteliti ketentuan pasal 266 KUHP tersebut, maka yang dapat dijatuhi sanksi menurut ketentuan pasal itu adalah mereka yang menyuruh menggunakan sarana tersebut untuk melakukan kejahatan, atau mereka dengan sengaja menggunakan sertifikat palsu sebagai sarana melakukan kejahatan dibidang pertanahan .

Juga disebutkan dalam pasal 274 KUHP yang mengatur masalah delik pemalsuan yang masuk dalam kejahatan terhadap tanah, yang berbunyi:

  • “Barang siapa membuat palsu atau memalsukan surat keterangan pegawai negri yang menjalankan kekuasaan yang sah mengenai hak milik atau sesuatu hak lain atas suatu barang dengan maksud akan memindahkan penjualan atau penggadaian barang itu atau dengan maksud akan memperdaya pegawai kehakiman atau polisi tentang asalnya barang tersebut.”
  • “Dengan hukuman serupa itu juga dihukum juga barang siapa dengan maksuddengan maksud yang serupa menggunakan surat keterangan palsu atau yang dipalsukan itu seolah-olahasli dan tidak dipalsukan.”

Menurut R. Soesilo yang dimaksud surat keterangan Pegawai Negeri Sipil dalam hubungannya dengan kejahatan terhadap pertanahan adalah surat-surat yang diberikan oleh kepala-kepala desa yang menerangkan siapa orang yang berhak atas sebidang tanah, yang mana sesuai dengan register yang dipegangnya tentang hak milik individual dan milik komunal. Pemalsuan keterangan tersebut biasanya digunakan untuk penjualan tanah.

Kasus yang muncul diatas pada dasarnya adalah sebagian besar akibat kurangnya ketelitian petugas kantor pertanahan dalam menyikapi adanya sertifikat ganda, maka dari itu perlu diadakan pengawasan yang tetap terhadap para petugas yang terkait dalam pembuatan akta tanah .

Selain pasal-pasal di atas, terdapat juga dalam pasal 263 dan pasal 264 KUHP. Dalam pasal 263 dijelaskan tentang pemalsuan surat adalah delik yang dirumuskan secara formil, artinya tidak ada akibat yang penting kecuali yang telah termasuk kelakuan memalsu .

  1. Menguasai Tanpa Hak
  2. Kejahatan dalam jabatan

Delik yang dilakukan dalam jabatan dapat dituntut jika seorang pegawai negeri yang melakukan tersebut harus pada waktu melakukan jabatannya dan dikategorikan sebagai delik pertanahan yang tercantum dalam pasal 425 angka 3 e yang berbunyi:

Pegawai negeri yang pada waktu menjalankan jabatan seolah-olah menurut peraturan tentang tanah pemerintah, yang dikuasai dengan hak Bumiputra memakai tanah itu, dengan merugikan orang yang berhak, sedang diketahuinya bahwa perbuatan itu ia melanggar peraturan tersebut.”

Delik yang tercantum dalam pasal ini dinamakan dengan “kenevelarij” yang oleh R. Suesilo diterjemahkan dengan berarti “permintaan memaksa”.

Dalam pasal ini unsur yang sukar dibuktikan adalah unsur “pada waktu menjalankan jabatan”, karena pegawai negeri atau pejabat di Negara kita sukar untuk dipastikan kapan dia menjalankan jabatan dan kapan tidak. Namun demikian, pada tahun 1971 yaitu diundangkannya Undang-undang Nomer 3 tahun 1971 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka kejahatan yang diatur dalam pasal 425 KUHP tersebut kemudian dikualifikasi sebagai delik korupsi.

  1. Mengakui tanpa hak
  2. Delik pelanggaran terhadap hak kebebasan dan ketentraman. Kejahatan ini dirumuskan dalam pasal 167 dan Pasal 168

Pelanggaran-pelanggaran terhadap tanah yang dimuat dalam buku III KUHP terdapat empat pasal yaitu Pasal 548, 548, 549, 550 KUHP. Mengenai tanah-tanah tanaman yaitu tanah-tanah yang sudah ditaburi, digali, atau ditanami. Apabila seseorang tanpa hak membiarkan hewan bersayap yang tidak dapat terbang seperti: ayam, itik, dan sebagainya, berjalan disitu maka ia dapat dikenai hukuman denda sebanyak-banyak lima belas rupiah (pasal 548). Apabila tanahnya berupa suatu padang rumput, dan seorang membiarkan tanpa hak ternak berjalan disitu hukumannya menjadi maksimum denda dua puluh lima rupiah (pasal 549). Apabila orang itu sendiri berjalam atau berkendaraan ditanah tersebut, maka hukumannya maksimum lima belas rupiah lagi (pasal 550) . Sedang pada pasal 551 ini tidak perlu tanah itu ditaburi, taguli, ditanami sudah cukup apabila orang yang melanggar dengan berjalan atau berkendaraan diatas tanah kepunyaan tanah orang lain yang sudah diberi tanda larangan yang nyata, dihukum dengan denda maksimum lima belas rupiah juga .

  1. Tanggung jawab pidana kejahatan atas tanah

Pelaku kejahatan terhadap tanah, pertanggung jawabannya berbeda pada setiap pasalnya.

  1. Pelaku pidana pasal 385 KUHP dikenakan sanksi penjara selama-lamanya empat tahun;
  2. Pelaku pidana pasal 389 KUHP dikenakan sanksi penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan;
  3. Pelaku pidana pasal 263 KUHP dikenakan sanksi penjara selama-lamanya enam tahun;
  4. Pelaku pidana pasal 264 KUHP dikenakan sanksi penjara selama-lamanya delapan tahun;
  5. Pelaku pidana pasal 266 KUHP dikenakan sanksi penjara selama-lamanya tujuh tahun;
  6. Pelaku pidana pasal 274 KUHP dikenakan sanksi penjara selama-lamanya dua tahun;
  7. Pelaku pidana pasal 425 KUHP dikenakan sanksi penjara selama-lamanya tujuh tahun;
  8. Pelaku pidana pasal 167 KUHP dikenakan sanksi penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda paling banyak 300 rupiah;
  9. Pelaku pidana pasal 168 KUHP dikenakan sanksi penjara selama-lamanya empat bulan dua minggu atau denda paling banyak 300 rupiah;
  10. Pelaku pidana pasal 548 KUHP dikenai hukuman denda maksimal lima belas rupiah;
  11. Pelaku pidana pasal 549 KUHP dikenai hukuman denda maksimal dua puluh lima rupiah;
  12. Pelaku pidana pasal 550 KUHP dikenai hukuman denda maksimal lima belas rupiah;
  13. Pelaku pidana pasal 551 KUHP dikenai hukuman denda maksimal lima belas rupiah.

Dalam Peraturan hukum lainnya seperti:

  1. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No 51 Tahun 1961 Tentang Larangan Memakai Tanah Tanpa Izin Yang Berhak atau Kuasanya Yang Sah;
  2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Ko­rupsi;
  3. yusrisprudensi.

KESIMPULAN

  • Kejahatan pertanahan adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan yang disertai dengan sanksi pidana bagi yang melanggarnya;
  • Kejahatan pertanahan dalam KUHP terdapat pada buku II dan buku III diantaranya dibedakan dari segi waktunya:
  1. Pra perolehan, terdapat dalam pasal 385, 389, 263, 264, 266;
  2. Menguasai tanpa hak, terdapat dalam pasal 425;
  3. Mengakui tanpa hak, terdapat dalam pasal 167, 168.

Dan dalam buku III juga terdapat delik-delik tentang pelanggaran terhadap pertanahan, yang terdapat dalam pasal 548, 549, 550, 551.

 

oleh: Rudi Mulyana, S.H.

Admin/Uploader: Rudi Mulyana, S.H.

Sembilan Bintang
info@sembilanbintang.co.id

Kantor Hukum Profesional, bergerak dalam lingkup nasional.

No Comments

Post A Comment